Halaman

Rabu, 23 Maret 2011

Di kota, Air Bersih Sulit Diakses

Warga kota semakin sulit mengakses air bersih. Kondisi DKI Jakarta pun tak lebih baik dari daerah lain.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2010, penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih secara optimal baru 36,6 persen. Selain itu, ada lima provinsi yang jumlah penduduknya semakin sulit mengakses air bersih yaitu, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Gorontalo, Jawa Timur, dan Kalimantan Tengah. Kondisi terparah justru terjadi di DKI Jakarta.

Pada lokakarya internasional yang diselenggarakan UNESCO bekerja sama dengan LIPI dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia Selasa (22/3), terungkap fakta yang mengenaskan. Warga miskin kota ternyata lebih sulit dan harus membayar lebih mahal untuk memperoleh air bersih. 

Sebagai gambaran, menurut koodinator nasional Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Hamong Santono, warga miskin di Jakarta harus mengeluarkan uang Rp1.000 - Rp1.500 per jeriken kapasitas 20 liter. Pengeluaran itu setara dengan Rp50.000 - Rp75.000 per meter kubik. Padahal, harga air bersih dari PDAM hanya Rp5.000 - Rp6.000 per meter kubik.

Dalam lokakarya bertema "Ecohydrology for Managing Sustainable Water Futures" tersebut, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, yang menjadi salah seorang pembicara, juga mengakui rendahnya akses air bersih. Menurutnya, sampai saat ini baru 50 persen penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih. Data lain menyebutkan, khusus untuk DKI Jakarta, Pemprov DKI Jakarta hanya mampu menyediakan 50 persen dari total kebutuhan air bersih warganya melalui dua operator.

Kepala LIPI Prof. Dr. Lukman Hakim menyebutkan, kondisi tersebut membuktikan bahwa pendekatan konvensional untuk pengelolaan sumber daya air tidak lagi cukup untuk membendung krisis air. "Oleh karena itu, diperlukan kebijakan sumber daya air yang berkelanjutan guna meningkatkan pembangunan sosial," katanya.

Lebih lanjut, Lukman mengatakan bahwa ekohidrologi bisa menemukan solusi masalah tersebut. Oleh sebab itu, Ecohydrology Programme (EHP) perlu mendapat perhatian serius karena program ini berfokus pada pengetahuan yang lebih baik tentang hubungan timbal balik antara siklus hidrologi dan ekosistem yang bisa memberikan kontribusi terhadap pengelolaan biaya yang efektif dan ramah lingkungan. “Tujuan EHP adalah untuk mengurai kesenjangan pengetahuan dalam penanganan masalah yang berkaitan dengan sistem air kritis,” tegasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut